Quiet quitting belakangan ini ramai diperbincangkan sebagai respons terhadap tekanan kerja yang berlebihan. Istilah ini menggambarkan sikap bekerja sesuai porsi, tanpa ambisi berlebih, tanpa lembur, dan tanpa menyentuh pekerjaan di luar jam atau tugas utama.
Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial, melainkan cerminan masalah nyata di dunia kerja, seperti burnout dan ketidakseimbangan hidup. Yuk, kenali lebih dalam apa itu quiet quitting, ciri-cirinya, serta cara mengelolanya di bawah ini!
Pernah dengar istilah quiet quitting? Meski terdengar seperti seseorang yang diam-diam berhenti kerja, nyatanya bukan itu artinya.
Quiet quitting merujuk pada sikap bekerja sesuai tanggung jawab, tanpa mengambil tugas di luar peran yang dimiliki.
Mereka yang menerapkan quiet quitting tetap menjalankan pekerjaannya, tapi tidak mau terlibat lebih dari yang seharusnya, baik lembur, membalas pesan di luar jam kantor, atau mengerjakan hal di luar jobdesk.
Tujuan utamanya adalah menjaga keseimbangan antara karier dan kehidupan pribadi. Dengan bekerja sewajarnya, kamu tetap bisa memenuhi kewajiban tanpa harus mengorbankan waktu untuk diri sendiri. Pola ini justru bisa bikin hidup lebih seimbang dan kinerja tetap optimal di dunia kerja.
Sebagai pemimpin atau rekan kerja, penting untuk mengenali tanda-tanda quiet quitting di lingkungan kerja. Berikut beberapa ciri yang bisa kamu perhatikan:
Baca juga: Mengenal Burnout Kerja: Penyebab dan Cara Mengatasinya
Quiet quitting bukan tanpa alasan. Banyak orang memilih tetap bertahan di tempat kerja sambil diam-diam mengurangi keterlibatan karena masih membutuhkan gaji dan manfaat kerja. Berikut beberapa penyebab umum yang sering jadi pemicunya:
Quiet quitting bukan sekadar tren, tapi juga mencerminkan perubahan signifikan dalam dinamika dunia kerja. Bagi beberapa orang, tren ini dapat memberikan manfaat, seperti terciptanya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Namun, apabila dibiarkan tanpa penanganan, rendahnya tingkat keterlibatan ini dapat menurunkan kepuasan kerja, mengganggu suasana kerja, serta memengaruhi kinerja tim secara keseluruhan.
Studi juga menunjukkan bahwa quiet quitting kerap muncul pada tujuh hingga delapan bulan pertama masa kerja. Tanpa intervensi dari pemimpin atau manajemen, kondisi ini dapat berkembang menjadi kebiasaan yang melekat dalam budaya organisasi.
Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk merespons secara proaktif demi menciptakan lingkungan kerja yang sehat, produktif, dan berkelanjutan.
Baca juga: Stres Kerja: Jenis, Penyebab, dan Cara Mengatasinya
Kalau kamu mulai merasa kehilangan semangat kerja atau melihat tanda-tanda quiet quitting, ada beberapa langkah sederhana yang bisa kamu lakukan untuk kembali terhubung dengan pekerjaan. Berikut beberapa caranya:
Cobalah menjalin hubungan yang kuat dengan rekan kerja, atasan, maupun anggota tim. Selain menyenangkan, hubungan baik di tempat kerja juga bisa meningkatkan semangat dan keterlibatan dalam bekerja.
Kalau kamu merasa terlalu banyak bekerja, itu bisa jadi tanda awal burnout. Guna menjaga kesehatan mental, penting untuk menetapkan batas waktu yang jelas di luar jam kerja, seperti menghindari membalas email, pesan, atau telepon saat sedang istirahat.
Kalau kamu merasa beban kerja terlalu berat atau usahamu kurang dihargai atasan, sebaiknya langsung bicarakan dengan bagian HR, daripada hanya dipendam.
Atasan sebenarnya ingin kamu sukses, jadi jangan ragu minta bantuan. Bisa jadi ada solusi, seperti jam kerja fleksibel, opsi kerja dari rumah, atau pelatihan yang bisa bikin kamu semangat lagi.
Belakangan ini, istilah quiet quitting semakin sering muncul di dunia kerja Indonesia. Fenomena ini menggambarkan karyawan yang tetap bekerja sesuai job description, tapi tidak lagi memberi usaha lebih.
Mereka tidak resign, tapi perlahan menarik diri dari keterlibatan aktif. Umumnya dipicu tekanan kerja, beban berlebih, kurangnya apresiasi, serta buruknya work life balance.
Minimnya pengakuan dan komunikasi juga bisa memperburuk situasi, terutama bagi Gen Z yang kini mendominasi angkatan kerja.
Dampaknya serius, seperti produktivitas menurun, semangat kerja luntur, dan karyawan potensial bisa ikut hengkang. Bagi yang mengalami, kondisi ini juga dapat memicu stres dan rasa tidak puas berkepanjangan.
Menurut jurnal berjudul An Overview of Quiet Quitting Among Millennial and Gen Z Employees, data quiet quitting di Indonesia masih tergolong rendah, khususnya pada milenial dan Gen Z yang dinilai tetap bertanggung jawab dan termotivasi.
Namun, perhatian lebih perlu diberikan pada karyawan dengan pendidikan menengah agar tetap terlibat dan berkembang.
Quiet quitting bukan sekadar masalah individu, tapi sinyal bahwa lingkungan kerja perlu dibenahi. Karena itu, perusahaan perlu menciptakan budaya yang sehat, terbuka, dan mendukung pertumbuhan karyawan.
Guna mendukung upaya tersebut, jurnal lain berjudul The New Trend: Why Indonesian Digital Start-Up Employees are Opting for Quiet Quitting? menekankan pentingnya budaya kerja yang sehat, apresiatif, dan seimbang. Tanpa dukungan organisasi, motivasi dan keterlibatan bisa menurun drastis.
Fenomena quiet quitting sebenarnya menjadi pengingat bahwa menjaga batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi itu penting. Saat ritme kerja mulai terasa melelahkan, jangan ragu untuk memberi ruang bagi diri sendiri untuk beristirahat dan merilekskan pikiran.
Agar tubuh dan pikiran kembali segar, kamu bisa gunakan Plossa aromatherapy dari Enesis Group. Kandungan eucalyptus-nya bantu meredakan otot tegang dan stres akibat tekanan kerja.
Cukup hirup aromanya atau oleskan di leher dan bahu, lalu pijat perlahan untuk sensasi relaksasi yang menenangkan. Dengan begitu, kamu bisa kembali fokus, stres berkurang, dan lebih produktif.Yuk, hadapi tekanan kerja tanpa stres berlebih dan kelola quiet quitting dengan lebih sehat bersama Plossa!
Baca juga: Pentingnya Kesehatan Mental di Tempat Kerja dan Tips Menjaganya